Jumat, 17 Oktober 2014

Hukum Di Bawah Tirani Penguasaan Aparat-Aparat Dewa


Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Agung Thailand), masih di peringkat yang rehdah di bandingkan peringkat negara yang sedang maju beberapa kasus yang belum mengikuti proses peradilan hukum, seperti beberapa kasus penculikan para pengegakan hok asasi manusia di Thailand masih misterius yakni, pengacara hukum muslim Somchai Neelapaijit, seorang yang berjuang keras dalam mengadili hukum mengenai hak asasi dibagian provinsi selatatan Thailand (Patani) bagi penduduk Patani yang sering kali mengabaikan hak asasi manusia, mayoritas kasus etnis Melayu Muslim di tertahankan oleh pengacara hukum muslim Somchai Neelapaijit seorang yang di culik misterius pada tahun 2004 pekan lalu sekarang belum menemui jasatnya. Kemudian kasus yang sama Sadari Billy Rachchungchren seorang pengacara hukum yang berjuang demi hak asasi etis Kareang (suku yang berada di bagian Thailand Utara) yang sekarang belum diakui sebagai suku yang setara dengan suku elit lain yang ada di Thailand, akhirnya di culit dan tidak tahu jasatnya dimana.

Kasus penculitan pengacara hukum di Thailand sebanyak 81 kasus yang masih belum ada proses di pengadilan hukum Thailand ini pengakibatkan bahwa lembaga  hukum di Thailand masih  di tahap yang redah, masih di pengaruhi oleh kekuasaan land di lembaga hukum tersebut.
Pada tanggal 9 Oktober 2014 berakunya Pleman Sea Jo yang sedang dalam proses pengadilan hukum dengan kasus, penjualan miyak illegal, nakoba, dan lain sebagainya, tiba-tiba di keluar dari tahan polisi oleh seorang pangkat tinggi bagian Polisi Arun Syisokhmak, kemudian pleman Sea Jo lari diri ke luar negeri.
Keadilan hukum di Thailand masih jauh jika aparat-aparat tertinggi masih berada diatas hukum Mahkamah Agung sebagi simbul keadilan social dan sebagai lembaga yang sakral bagi rakyat kecil
(Suara Gua)


BUMI ABANG BUMI ADIK



NAMA Patani—dengan satu ‘t’, nama daerah itu ketika masih menjadi kerajaan Islam yang sekarang populer sebagai Pattani—mungkin belum terlalu akrab di telinga kaum Muslim Indonesia secara luas. Kita lebih sering mendengar dan mengenal Palestina, Chechnya, Moro, Afghanistan, Pakistan, Somalia atau sederet nama-nama negeri Muslim di jazirah Arab yang sering berkonflik. Memang tidak banyak media massa menyebut dan mengekspos peristiwa-peristiwa yang dialami kaum Muslim di Patani dalam laporan atau liputan mereka. Padahal, kejadian-kejadian di Patani, tak jauh berbeda dengan yang ada di belahan bumi Muslim lainnya yang tengah dilanda konflik melawan pemerintah kafir yang menguasai mereka.
Paling tidak, sudah dua ratusan tahun lebih Muslim Patani mengalami penindasan. Tanah mereka direbut oleh penjajah Siam (Thailand), dan kini mereka hidup penuh konflik di wilayah selatan Thailand. Di negeri itu, kaum Muslim memang terhitung minoritas. Berbagai perlakuan buruk mereka terima. Hak-hak kemanusiaan mereka dikungkung. Mereka dicabut dari akar budayanya dan dijauhkan dari agamanya. Mengalami pembunuhan, diancam dengan penculikan, dibatasi semua hak manusianya.
Perjuang Hapus Derita
Perlakuan pemerintah Thailand terhadap Muslim Patani memang buruk. Misalnya saja, mereka diberondong peluru ketika sedang melaksanakan shalat berjamaah di masjid. ‘Pembunuhan’ mereka tak hanya dilakukan secara fisik, namun hampir ke semua aspek kehidupan, seperti pendidikan, sosial, sejarah, dan budaya. Penutupan berbagai pondok pesantren, melakukan asimilasi kebudayaan Siam ke tubuh Patani, penghapusan hukum pernikahan dan waris islami dalam permasalahan hukum. Mereka diharamkan untuk menyimpan buku-buku sejarah Patani. Kesadaran historis mereka dilenyapkan oleh tangan besi pemerintah dan militer Thailand yang sangat khawatir kalau warga Muslim ini sadar bahwa mereka adalah orang-orang Melayu, dan bukan orang Thailand.
They are our brothers!
Kaum Muslim dilarang keras berbicara dalam bahasa Melayu. Semua hal harus serba Thailand. Mulai bahasa sehari-hari, bahasa instruksi di sekolah-sekolah, dan nama-nama mereka. Pemerintah memaksakan pemakaian bahasa Siam, bahasa kerajaan Thailand, yang juga merupakan bahasa yang lekat dengan nilai-nilai ajaran Budha. Selain masalah bahasa dan sejarah, kaum Muslim juga dikondisikan dalam keadaan selalu mencekam. Di setiap sudut jalan, selalu ada tentara berseragam militer lengkap dengan senjata otomatisnya.
Sedemikian menderita kehidupan Muslim Patani yang sewaktu-waktu selalu terancam bahaya. Kuasa media pemerintah membuat konflik yang terjadi seakan hanya konflik internal Thailand. Bukannya konflik ideologi syirik Budha dengan Islam. Sehingga, perhatian kaum Muslim dunia pun tak sebesar perhatian mereka kepada Palestina atau negeri lain yang sering terekspos. Namun demikian, mereka tetap mengobarkan spirit jihad untuk lepas dari penindasan itu.

Sebenarnya, perjuangan mereka adalah bagian dari perjuangan kaum Muslim internasional juga. Mereka adalah satu kesatuan dengan kaum Muslim dunia. Bahkan, mereka menganggap jihad Patani tak lepas dari cita-cita pembebasan Al-Aqsha di Palestina.

Minggu, 12 Oktober 2014

KEKUASAAN MILITER THAILAND MERAJARELA



Negara Thailand mempunyai system demokrasi sebagai system pemerintahan yang mengatur kebijakan negara, tetapi yang anehnya di Lembaga Militer Thailand seringkali menjadikan sebagai alat Kudeta pemerintah, oleh karena ada intervensi dari militer kuat dan jumlah aparat tertinggi dalam Militer di peringkat Kolonel pada tahun 2014 jumlah maksimal 1092 pangkat, peningkatan yang tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya 46% . Namun, pada periode PM Yenglach Chinawatre jumlah pangkat kolonel hanya 861 pangkatnya. Kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Surayut Pimpinan Tertinggi AD, jumlah yang begitu banyak munkin menjadi sebagai alasan kudeta. Yang lebih anehkan lagi di negara ini mempunyai Dewan Perwakilan Provinsi (DPP) dalam Lembaga Legislatif Majelis Permusyawahan Rakyat (MPR) mewakili sebanyak total 150 kursi, 70 langsung di pilih oleh rakyat dan 80 kursi dari pengesahan Raja, sementara itu dari kalangan tersebut 80 kursi banyak dari kalangat aparat militer tertinggi di pangkat Kolonel ataupun Mantan Jenderal.
Ini menunjukan bahwa system otoriter merajarela dan menghantui negara ini sejak purbakala, malahan kekuasaan dan kekerasan tidak lagi aneh dalam menyelesaian sesuatau masalah. Demokrasi sebenarnya di negeri ini sebagai topeng penipuan masyarakat sipil. Demikian itulah terlebarnya konflik di kawasan tiga provinsi selatan Thailand dan masih banyak lagi sebagai mangsa korban konflik serta pembunuhan (suara Gua yang Merindu Keadialn)


SEJARAH MENGULANG KEMBALI SEKOLAH DI BAKAR PROVINSI PATANI DI TENGAH PANAS KONFLIK PATANI THAILAND

Peristiwa bakar sekolah oleh pihak gerilyawan pemborontak kemerdekaan Patani pada tanggal 11-12 Oktober 2014 dengan menghanguskan sekolah SDN 6 buah sekolah dari 2 Daerah Provinsi Patani yaitu Mayo, dan Thungyadeng.


Sejarah bakar sekolah sering terjadi di tiga provinsi selatan Thailand (Patani) pada Tahun 1993 sekolah di bakar sekitar 36 buah sekolah, pada masa Pemerintahan Perdana Mentri Chuan Lephai, pada tahun 2004 sekolah di bakar sejumlah 19 buah sekolah di 10 kawasan Daerah Provinsi Patani, Yala, dan Narathiwat dan pada Tahun 2014 peristiwa mengulang kembali sejarah bakar sekolah sejumlah 6 buah sekolah. Rekontruksi sejarah peristiwa bakar sekolah itu cukup resional dalam tindakan sabotase pihak pemberontak Patani oleh karena realitas militer seringkali menetapkan marker kemp tentera di kawasan sekolah dengan alasan menjaga sekolah dari serangan pemberontak. Lembaga pendidikan seharusnya lebaga yang bebas dari pengaruh militir oleh karena, pisikologi pesertadidik di bawah usia 5-12 Tahun tidak dapat di penaruhi oleh alat-alat sejajata yang dampak dari kekerasan sementara itu militir membangun markas sebagai tujuan keamanan Negara biasanya markas militir di bangun stategi markas yang jauh dari lembaga pendidikan dan sebagainya (dari suara gua harapan keadilah).