NAMA Patani—dengan satu ‘t’, nama daerah itu ketika masih
menjadi kerajaan Islam yang sekarang populer sebagai Pattani—mungkin belum
terlalu akrab di telinga kaum Muslim Indonesia secara luas. Kita lebih sering
mendengar dan mengenal Palestina, Chechnya, Moro, Afghanistan, Pakistan,
Somalia atau sederet nama-nama negeri Muslim di jazirah Arab yang sering
berkonflik. Memang tidak banyak media massa menyebut dan mengekspos
peristiwa-peristiwa yang dialami kaum Muslim di Patani dalam laporan atau
liputan mereka. Padahal, kejadian-kejadian di Patani, tak jauh berbeda dengan
yang ada di belahan bumi Muslim lainnya yang tengah dilanda konflik melawan
pemerintah kafir yang menguasai mereka.
Paling tidak, sudah dua ratusan tahun lebih Muslim Patani
mengalami penindasan. Tanah mereka direbut oleh penjajah Siam (Thailand), dan
kini mereka hidup penuh konflik di wilayah selatan Thailand. Di negeri itu,
kaum Muslim memang terhitung minoritas. Berbagai perlakuan buruk mereka terima.
Hak-hak kemanusiaan mereka dikungkung. Mereka dicabut dari akar budayanya dan
dijauhkan dari agamanya. Mengalami pembunuhan, diancam dengan penculikan,
dibatasi semua hak manusianya.
Perjuang Hapus Derita
Perlakuan pemerintah Thailand terhadap Muslim Patani memang
buruk. Misalnya saja, mereka diberondong peluru ketika sedang melaksanakan
shalat berjamaah di masjid. ‘Pembunuhan’ mereka tak hanya dilakukan secara
fisik, namun hampir ke semua aspek kehidupan, seperti pendidikan, sosial,
sejarah, dan budaya. Penutupan berbagai pondok pesantren, melakukan asimilasi
kebudayaan Siam ke tubuh Patani, penghapusan hukum pernikahan dan waris islami
dalam permasalahan hukum. Mereka diharamkan untuk menyimpan buku-buku sejarah
Patani. Kesadaran historis mereka dilenyapkan oleh tangan besi pemerintah dan
militer Thailand yang sangat khawatir kalau warga Muslim ini sadar bahwa mereka
adalah orang-orang Melayu, dan bukan orang Thailand.
They are our brothers!
Kaum Muslim dilarang keras berbicara dalam bahasa Melayu.
Semua hal harus serba Thailand. Mulai bahasa sehari-hari, bahasa instruksi di
sekolah-sekolah, dan nama-nama mereka. Pemerintah memaksakan pemakaian bahasa
Siam, bahasa kerajaan Thailand, yang juga merupakan bahasa yang lekat dengan
nilai-nilai ajaran Budha. Selain masalah bahasa dan sejarah, kaum Muslim juga
dikondisikan dalam keadaan selalu mencekam. Di setiap sudut jalan, selalu ada
tentara berseragam militer lengkap dengan senjata otomatisnya.
Sedemikian menderita kehidupan Muslim Patani yang
sewaktu-waktu selalu terancam bahaya. Kuasa media pemerintah membuat konflik
yang terjadi seakan hanya konflik internal Thailand. Bukannya konflik ideologi
syirik Budha dengan Islam. Sehingga, perhatian kaum Muslim dunia pun tak sebesar
perhatian mereka kepada Palestina atau negeri lain yang sering terekspos. Namun
demikian, mereka tetap mengobarkan spirit jihad untuk lepas dari penindasan itu.
Sebenarnya, perjuangan mereka adalah bagian dari perjuangan
kaum Muslim internasional juga. Mereka adalah satu kesatuan dengan kaum Muslim
dunia. Bahkan, mereka menganggap jihad Patani tak lepas dari cita-cita
pembebasan Al-Aqsha di Palestina.